Bayangan Buram
Tepat pukul 19.00 aku sampai dirumahku yang berdekatan dengan masjid. Takbir yang mengalun dan bedug yang terdengar cepat begitu jelas di telingaku.
Kakiku teras letih takkala menginjak tanah turun dari bis. Memang sejak berangkat dari Jakarta melewati Bogor dan sampai di Cianjur, aku tak memperoleh kesempatan duduk. Mana sopir ugal – ugalan ini memainkan rem seenaknya, sehingga aku sering harus memegang sandaran kuat – kuat.
AllahuAkbar! Allahu Akbar!
Allahu Akbar! Laa Illaha – illallahu Allahu Akbar! Allahu Akbar Walillaahilhamd! Allah Maha Besar! Allah Maha Besar! AllahMaha Besar! Tiada Tuhan melainkan Dia. Allah Maha Besar dan segala puji bagiNYA. Sungguh menyentuh hati segenap muslimin.
Kutemukan ibuku dikamar masih bersimbuh mengenakan kain putih. Rupanya baru selesai shalat Isya. Kedua tangannya terangkat terbuka menghadap kiblat. Mulutnya komat – kamit, matanya bening. Ia menangis. Aku yakin ibuku teringat pada ayah yang telah lama pergi. Sudah sering aku menemukan Ibu dalam keadaan seperti ini.Kadang – kadang aku merasa khawatir. Ibuku sudah tua, takut penyakitnya kambuh lagi. Maka tak jarang aku pun turut mencucurkan air mata.
Tiba –tiba bayanganku menerawang jauh ke belakang. Saat ayahku dengan senyumnya memanggil namaku, “Rumiati!”
Ayah seorang seniman yang cukup ternam diikotaku. Karena grup kesenian tradisional yang digelutinya terbilang populer. Di antara ke enam saudara aku adalah amak ke lima yang pertama kali tampil memperlihatkan kebolehanku menabuh gamelan pada usia sekitar lima tahun. Semua pelajaran menabuh gamelan kudapat dari ayahku sendiri. Namun sayang, aku tak lama mengecap kebahagiaan itu. Pada suatu malam ayah jatuh sakit, cukup parah. Bukan main kami paniknya, terutama ibu. Dokter telahdi panggil, dan mengatakan bahwa ayah dalam keadaan gawat. Harus baik – baik merawatnya, penyakitnya cukup serius, katanya. Kata – kata itu sempat didengar ayah. Bukannya ia panik, malah semangat hidupnya bangkit. Dia ingin dokter menyuntiknya agar lekas sembih. Sebetulnya ia sudah tidak boleh disuntik, karena akan mempengaruhi penyakit lain yang dideritanya.Tapi ayah bersikeras. Maka kami pun tak dapat melarangnya. Setelah dilakukan penyuntikan ada sedikit perubahan. Kelihatan segar, mampu tersenyum dan bercakap bersama. Aku saat itu masih ingusan belum mengerti tentang orang tua, lalu duduk disebuah kursi di sampinya dan tersenyum seperti ayahku. Dengan sayu ia menatapku tersenyum. Kelihatan sekali pucat pasi. Matanya cekung dan sinarnya amat lesu. Ia berbaring terlentang dengan mukanya lurus ke atas. Mulutnya menganga sedikit seperti senyum dipaksakan. Dadanya naik turun, napasnya pendek – pendek.
Esoknya ketika aku berangkat kesekolah, sempat melihat ayah di kamar. Ia berbaring lesu, tapi sempat tersenyum ketika aku mengulurkan tangan yang biasa kulakukan sebelum berangkat ke sekolah. Kebiasaan ini ditanamkan oleh ayahku pada seluruh anaknya agar mudah memperoleh berkah dari orang tua. Dengan lari kecil aku berangkat menyandang tas yang baru tiga hari ayah belikan. Aku memintanya setelah ayah mengajakku tampil disuatu acara selamatan. Dengan rasa sayangnya tidak sulit ia membelikan tas itu sebuah toko.
Pelajaran sudah lama dimulai. Dengan tekun aku menulis menirukan pak guru dipapan tulis. Saat itu aku duduk dikelas dua sekolah dasar, tentunya saja masih bodoh. Masih belum mengerti. Aku Cuma tahu berangkat sekolah, minta uang jajan dan menirukan pak guru menulis. Sedangkan mengenai manfaat belajar sama sekali tak terpikirkan olehku.
Tiba – tiba pak guru memanggilku, katanya ada yang menjemputku. Ternyata Tante Dewi. Aku heran, pelajaran belum selesai aku sudah disuruh pulang. Dan mengapa Tante Dewi yang menjemputku, biasnya bukan dia? Tante Dewi hanyalah tetanggaku, tidak ada hubungan keraba tsedikitpun denganku. Aku ttak dapat berpikir panjang. Setelah meminta izin pada pak guru, kemudia aku meninggalkan kelas. Masih dicekam ke tak mengerti, kuikuti langkah Tante Dewi yang setengah berlari. Tak ada kata meluncur dari bibirku, hanya nafas yang terengah – engah. Aku masih kecil,dan belum mengerti masalah orang dewasa.
Saat memasuki rumah tiba – tiba terdengar ledakan tangis memilukan menjemput kehadiranku. Kudapat sosok ayahku terlentang kaku. Di sekelilingnya berjajar keluargaku, nenek, ibu, bibii dan paman serta saudara – saudaraku yang lainnya. Mereka tertunduk ada yang saling berpelukan sambil saling membasahi bajunya dengar air mata. Isak tangis, bersahutan sangat pedih. Mata mereka memerah, penuh dengan cairan bening. Ternyata ayahku telah kembali. Kembali kepada Sang Pencipta.
Aku sendiri tahu ketika ibuku meratap, “Rum, ayah telah berpulang ke alam baqa.” Meski belum mengerti di mana alam baqa itu, tapi karena kulihat semuanya menangis, aku pun turut pula menangis. Akhirnya tangis membahana, mencekam, bersimbah air mata duka. Kuhampiri ibuku yang duduk paling dekat dengan kepala ayah. Dia memelukku, membasahiku dengan air matanya. Ratapnya sangat pilu. Tangisku pun semakin menjadi – jadi. Tentu saja ruangan itu jadi ramai oleh isak tangis.
Kuperhatikan orang – orang disekelilingku, takada yang tengadah. Apalagi teman – teman ayah sesama seniman. Mereka tak mampu membendung air matanya. Sesekali menyusut mata dengan saputangannya.
"Rumiati!” panggil ibuku tiba – tiba. Bukan main terkejutnya aku! Seketika bayangan ayah buyar. Masih dalam keadaan berdiri kutatap mata ibuku yang bening, sayu, menyimpan segudang kasih sayang.
"Ibu.” Aku mendekap ke dadanya seraya menangis. Kemudian bersimpuh di antara kedua pahanya yang tertutup kajn putih. “Maafkan aku bu!” ucapku. Ibuku menangis. Air matanya jatuh diatas kepalaku, terasa dingin. Ingin rasanya aku menumpahkan angan – anganku padanya. Telah banyak dosa yang kuperbuat kepada ibuku. Selalu saja aku menyusahkan beliau, membuat jengkel. Sehingga ia sering marah – marah karena ulahku.
Sungguh aku tak tahu diri. Di dalam yang fitri ini aku memohon ampun kepada ibuku. Hanya dia yang dapat memaafkan segala tingkahku yang serba melukai harinya.
“Oh, ibu, maafkan aku, bu!”
~Selesai~
0 komentar :
Post a Comment